Pendidikan Akhlak Anak usia dini sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga khususnya orangtua karena melalui orangtualah anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama. Begitu pentingnya peran orangtua dalam memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Berdasarkan Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003)
Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surah Al-Isra’ (17) ayat 24 yang berbunyi :
وَ اخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ
الرَّحْمَةِ وَ قُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّیٰنِیْ صَغِیْرًا
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap
mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu
kecil". (Depag RI,
2009:284)
Didalam Al-Qur’an juga banyak mengisahkan tentang
pendidikan dan akhlak anak kepada orangtua melalui kisah para Nabi. Adapun
terdapat dalam Firman Allah Surah Asy-Syu’ara’ (26) ayat 18 yang berbunyi:
قَالَ اَلَمْ نُرَبِّكَ فِیْنَا وَلِیْدًا وَّ
لَبِثْتَ فِیْنَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِیْنَ
“Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara
(keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami
beberapa tahun dari umurmu. (Depag
RI, 2009:367)
Selain kisah Raja Fir’aun dan
Nabi Musa juga kisah lainnya ialah melalui kisah Nabi Adam a.s. yang terdapat
dalam Firman Allah Swt dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 31 yang
berbunyi :
وَ عَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ
عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰىٕكَةِ-فَقَالَ اَنبِـُٔوْنِیْ بِاَسْمَآءِ هٰۤؤُلَآءِ اِنْ
كُنْتُمْ صٰدِقِیْنَ
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang
benar!" (Depag RI,
2009:6)
Selanjutnya, terdapat Kisah Nabi
Daud a.s. didalam Surah An-Naml (27) ayat 16 yang berbunyi:
وَوَرِثَ سُلَيْمٰنُ دَاودَ وَقَالَ يٰاَيُّهَا
النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَاُوْتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ اِنَّ
هٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِيْنُ
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud,
dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara
burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar
suatu kurnia yang nyata". (Depag
RI, 2009:378)
Kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s.
dikisahkan didalam Al-Qur’an terdapat dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaaffaat (37)
ayat 102 yang berbunyi:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْیَ قَالَ
یٰبُنَیَّ اِنِّیْۤ اَرٰى فِی الْمَنَامِ اَنِّیْۤ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَا ذَا
تَرٰى-قَالَ یٰۤاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ-سَتَجِدُنِیْۤ اِنْ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ
الصّٰبِرِیْنَ
“Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". (Depag RI, 2009:449)
Dari kisah diatas diketahui bahwa peran pendidikan
orangtua kepada anak bukan hanya dilakukan sejak sekarang melainkan sudah ada
sejak zaman Nabi, yaitu telah adanya proses pendidikan dan pola asuh orangtua
kepada anak. Dari kisah Nabi Musa
dengan Fir’aun mengajarkan kita bahwa walaupun Fir’aun tidak menyukai dan menginginkan
kehadiran Nabi Musa a.s atas izin Allah Nabi Musa a.s Allah selamatkan dari
pembunuhan anak laki-laki sewaktu ia kecil. Bukan hanya itu, ia juga diasuh
dengan istri Fir’aun dan besar dalam keluarganya padahal Fir’aun hendak
membunuhnya.
Melalui kisah Nabi Adam diatas dapat diambil
pelajaran bahwa sesungguhnya Allah yang mengajarkan Nabi Adam segala yang tidak
diketahuinya. Allah hendak menunjukkan kepada para malaikat dan ciptaannya
bahwa Dia hendak menciptakan seorang khalifah di muka bumi yang mengetahui
tentang nama-nama (benda) yang tidak diketahui oleh malaikat dan makhluk
ciptaannya yang lain.
Dari Kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman a.s.
dapat diambil pembelajaran bahwasanya Allah telah memberikan mukjizat dan
pemahaman a.s. tentang suara hewan sehingga dapat mengerti bahasa hewan. Dan
mukjizat tersebut Allah pilihkan kepada orang-orang istimewa dalam setiap
kaumnya.
Selanjutnya, terdapat Kisah Nabi Ibrahim a.s. yang
telah mendambakan seorang anak dalam hidupnya sampai ia berusia lanjut usia.
Ketika ia telah berusia lanjut, maka Allah memerintahkan kepadanya agar
menyembelih sang anak. Nabi Ibrahim a.s. meminta izin kepada anaknya Ismail
a.s. untuk melaksanakan seruan Allah menyembelih anaknya. Kisah tersebut hingga
saat ini menjadi hari besar dan sekligus perintah umat Islam untuk menyembelih
hewan kurban bagi yang mampu menjalankannya.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat banyak ditemukan
ajaran-ajaran tentang akhlak karimah yang harus dijadikan manusia sebagai
pelaku internal dan eksternal dalam kehidupannya. Demikian juga sebaliknya,
banyak ditemukan larangan Al-Qur’an terhadap perilaku tercela yang harus
dihindari oleh manusia. Hal ini akan diulas pada pembahsan-pembahasan
berikutnya. Pada intinya konsepsi akhlak di dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah
segala perilaku yang baik yang diabsahkan oleh syara’. Oleh sebab itu, baik dan
buruk dalam Islam haruslah berdasarkan petunjuk sumber ajaran Islam tersebut.
Konsep akhlaq al-karimah
merupakan konsep hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah,
manusia dengan alam sekitarnya dan manusia dengan manusia itu sendiri.
Keseluruhan konsep-konsep akhlak tersebut diatur dalam sebuah ruang lingkup
akhlak. (Syafri, 2002:79)
Sejalan dengan itu, Abidin Rusn mengatakan bahwa
pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai
akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk
pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung
jawab orang tua, masyarakat menuju pendekatan diri menjadi manusia sempurna.
(Al-Ghazali, 1998:56) Sementara itu, pendidikan yang bertahap dan berkelanjutan
telah kita saksikan dalam sejarah umat Islam. Allah Swt tidak menurunkan
Al-Qur’an secara utuh. Tidak. Akan tetapi, diturunkan secara berangsur-angsur.
Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya sebatas hafalan saja, tetapi benar-benar
menjadi panduan hidup yang melekat dalam benak para sahabat beliau. (Almaududy,
2018: 35)
Suatu
proses berupa pemindahan maupun penyempurnaan dalam rangka mencapai tujuan yang
diharapkan dengan melibatkan dan mengikut sertakan bermacam komponen adalah
pengertian dari pendidikan. Pendidikan juga dipahami bahwa sejak manusia itu
ada, sebenarnya sudah ada pendidikan, tetapi dalam perwujudan yang berbeda-beda
sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu, selanjutnya dengan terjadinya
perkembangan ilmu dan teknologi, akan timbul pulalah bermacam-macam pandangan
tentang pengertian pendidikan itu sendiri. (Yusuf, 1982:21-22)
Idealnya, pendidikan dilaksanakan oleh tiga
komponen secara simultan: rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga
komponen inilah yang disebut oleh Ki Hajar Dewantara dengan Tri Pusat
pendidikan. Pendidikan yang dilaksanakan disekolah tidak emmiliki arti yang
banyak bila tidak dikontrol dan dikendalikan oleh orangtua. Orangtualah yang
mengontrol anak. Apa yang dilakukan untuk ini, harus dibangun komunikasi antara
sekolah dan orangtua peserta didik, lewat pertemuan formal, lewat buku
penghubung, lewat komunikasi tertulis yang dibuat oleh sekolah ditujukan kepada
orangtua murid. (Haidar, 2016:102)
Dari
beberapa pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu
proses usaha sadar dan terencana dimana orangtua mempunya peran utama dalam
menumbuhkan perkembangan sang anak dimana melalui prosdes pendidikan tersebut
akan lahir dalam diri anak sesuatu dari yang tidak tahu menjadi tahu, dilakukan
secara bertahap melalui ilmu pengetahuan yang didapat dari lingkungan tempat
anak tinggal.
Akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan (Kamus Besar Bahasa
Indonesia). Kebanyakan kata
akhlak dijumpai dalam hadist. Sementara itu, satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al-Qur’an adalah
bentuk tunggal, yaitu Khuluqun.
Seperti yang tercantum dalam surat al-Qolam (68) ayat 4 yaitu:
وَ اِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِیْمٍ
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Depag RI, 2009:564)
Selanjutnya,
ayat tersebut juga didukung oleh hadist Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh
Bukhari :
حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ { خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ
بِالْعُرْفِ } قَالَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا فِي أَخْلَاقِ النَّاسِ وَقَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ الْعَفْوَ مِنْ أَخْلَاقِ
النَّاسِ أَوْ كَمَا قَالَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya Telah
menceritakan kepada kami Waki' dari Hisyam dari Bapaknya dari 'Abdullah bin Az
Zubair mengenai firman Allah; Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf (Al A'raf: 199). Dia berkata; Tidaklah Allah
menurunkannya kecuali mengenai akhlak manusia. 'Abdullah bin Barrad berkata;
Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah Telah menceritakan kepada kami Hisyam
dari Bapaknya dari 'Abdullah bin Az Zubair dia berkata; 'Allah menyuruh Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam agar memaafkan kesalahan manusia kepada beliau.'
-atau kurang lebih demikianlah apa yang ia katakan. (HR. Bukhari, Tafsir Al-Qur’an, Bab Surah
A-A’raf ayat 199: 4277)
Dari
ayat dan hadist diatas menegaskan bahwa Rasulullah Saw sebagai suri teeladan
kita sebagai umat Islam memiliki budi pekerti (akhlak) yang agung dan kita
diperintahkan sebagai umatnya untuk meniru akhlak beliau, mengerjakan yang
ma’ruf dan memaafkan kesalahan sesama manusia lainnya.
Sementara
itu, definisi akhlak menurut terminologis adalah pranata perilaku manusia dalam
aspek kehidupan. Secara umum, akhlak dapat dipadankan dengan moral atau etika
(Saebani, 2010:14). Sedangkan pada dasarnya akhlak mengajarkan bagaimana
seseorang seharusnya berhubungan dengan Tuhan, Allah Penciptanya, sekaligus
bagaimana seharusnya hubungan seseorang dengan sesama manusia. Niat kuat untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai ridha Allah merupakan inti ajaran
akhlak. (Sutarjo, 2013:55)
Sejalan dengan pendapat diatas, akhlak pada dasarnya
mengajarkan bagaimana seseorang berhubungan dengan Sang Pencipta yaitu Allah
SWT., dan bagaimana seseorang berhubungan dengan sesama manusia (Herawati,
2017). Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa seorang anak yang
mendapatkan pendidikan akhlak yang baik mampu menghadapi dan menghindari
pengaruh buruk dari lingkungan sekitarnya (Muslich, 2011).
Dari beberapa pendapat diatas menegaskan bahwasanya
pada dasarnya melalui pendidikan akhlak mengajarkan bagaimana seseorang untuk
berakhlak kepada Allah (Hablumminallaah) dan juga kepada sesama manusia (Hablumminannaas).
Ibnul
Qayyim berkata, “Di antara aspek yang sangat perlu diperhatikan dalam
pendidikan anak ialah persoalan akhlak. Sebab anak akan tumbuh sesuai dengan
kebiasaan yang ditanamkan oleh pendidik dimasa kecilnya, misalnya galak, suka
marah, keras kepala, terburu-buru, cepat tergoda oleh hawa nafsu, ceroboh, dan
cepat naik darah. Bila sudah demikian, orangtua akan sulit menghilangkannya
ketika anak telah dewasa. Semua akhlak buruik itu akan berubah menjadi sifat
dan karakter yang tertanam dalam dirinya. Meskipun anak telah berusaha keras
untuk menjauhinya, sifat ini suatu saat akan muncul lagi. Oleh karena itu, Anda
dapat menemukan banyak orang yang akhlaknya menyimpang disebabkan oleh
pendidikan waktu kecil yang salah. (Abdurrahman, 2010:117)
Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa kata
akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu “akhlaq”,
kata tersebut adalah jama’ dari kata “khuluqun”
yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti. perangai, tingkah laku,
atau tabiat. Kata “akhlaq” juga
berasal dari kata “khalaqa” atau “khalqun” artinya kejadian, serta erat
hubungannya dengan “khaliq”, artinya
menciptakan tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq”, artinya pencipta dan “makhluq” artinya yang diciptakan
(Ya’qub, 1996:11).
Sejalan
dengan pendapat Ya’qub, Husnel juga mengungkapkan kata akhlak berasal dari
bahasa Arab, yaitu Akhlaq. Bentuk
jamaknya adalah khuluq, artinya tingkah
laku, perangai, dan tabiat. Sedang menurut istilah, akhlak adalah daya dan
kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir
dan direnungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang
melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau
perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka
tindakan itu disebut akhlak karimah (mahmudah).
Sebaliknya, apabila buruk maka disebut akhlak yang buruk atau akhlak mazmumah. Baik dan buruk pada akhlak
didasarkan kepada sumber nilai yang ada di dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan
Hadist (Sunnah Rasul) (Husnel, 2015:134). Dengan memiliki generasi yang berakhlak mulia
kehidupan akan selamat dunia dan akhirat. (Herawati, 2017)
Dalam mendefinisikan kata “akhlaq” terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan linguistik
(kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilahan). Secara bahasa kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari
kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan,
yaitu sesuai dengan timbangan (wajan)
tsulasi majid ‘af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti as-sajiyah (perangai), ath-thabiah
(karakter, tabiat, watak), al-adat
(kebiasaan), al-muru’ah (kehormatan),
dan ad-din (agama). Namun, akar kata
akhlak dari kata “akhlaqa”
sebagaimana tersebut tampaknya kurang tepat, isim mashdar dari akhlaqa adalah ikhlaq bukan akhlaq.
Berkenaan dengan hal itu, timbul pendapat yang mengatakan bahwa kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair
munsharif, yaitu isim yang tidak
memiliki akar kata. Tetapi kata tersebut memang sudah terbentuk demikian
adanya. (Solihin, 2006:17-18)
Dari
beberapa pendapat diatas dapat dipahami bahwa akhlak dapat disamakan dengan budi
pekerti, perangai atau kepribadian. Akhlak dapat mencerminkan kepribadian
sekaligus dapat menggambarkan karakter yang apabila mengandung kebaikan disebut
akhlak baik atau akhlak mulia, dan yang mengandung keburukan maka disebut
sebagai akhlak buruk atau akhlak tercela.
Akhlak sesungguhnya merupakan perpaduan antara lahir dan batin.
Seseorang dikatakan berakhlak apabila seirama antara perilaku lahir dan
batinnya. Karena akhlak itu juga terkait dengan hati, maka pensucian hati
adalah salah satu jalan untuk mencapai akhlak mulia. Dalam pandangan Islam hati
yang kotor akan menghalangi seseorang mencapai akhlak mulia. Boleh jadi dia
melakukan kebajikan tetapi kebajikan yang dia lakukan itu bukanlah tergolong
akhlak mulia, karena tidak dilandasi oleh hati yang mulia pula. Disinilah letak
akhlak dengan etika atau moral. Pada tataran akhlak berperan ganda lahir dan
batin, sedangkan etika atau moral berada pada tataran lahiriah saja. Seseorang
telah dikatakan beretika atau bermoral ketika dia telah menunjukkan sikap sopan
dan terpuji. Tetapi bagi akhlak belum cukup yang demikian, mestilah dibarengi
dengan sikap hati. (Haidar, 2014:133-134) Oleh sebab itu, orangtua harus
memperhatikan akhlak anak-anaknya. Jangan karena menganggap anaknya masih kecil
lalu semuanya serba boleh dan memandang sebagai hal kecil pula. (Masganti,
2019:84)
Mengingat begitu tinggi kedudukan
Allah, maka Rasulullah bersabda Islam pemberian terbaik dari orangtua kepada
anak adalah akhlak mulia. Sebagaimana Nabi Saw bersabda:
حدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا
عَامِرُ بْنُ أَبِي عَامِرٍ الْخَزَّازُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ
مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ
حَسَنٍ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا
نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَامِرِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ الْخَزَّازِ وَهُوَ
عَامِرُ بْنُ صَالِحِ بْنِ رُسْتُمَ الْخَزَّازُ وَأَيُّوبُ بْنُ مُوسَى هُوَ
ابْنُ عَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِي وَهَذَا عِنْدِي حَدِيثٌ مُرْسَلٌ
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami, telah
menceritakan kepada kami Amir bin Abu Amir Al Khazzar, telah menceritakan
kepada kami Ayyub bin Musa dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada suatu pemberian seorang
ayah kepada anaknya yang lebih utama daripada adab (akhlak) yang baik."
Abu Isa berkata; Ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali
dari haditsnya Amir bin Abu Amir Al Khazzar, ia adalah Amir bin Shalih bin
Rustum Al Khazzar. Sedangkan Ayyub bin Musa adalah Ibnu Amr bin Sa'id bin Al
Ash. Dan menurutku, ini adalah hadits Mursal. (HR. Tirmidzi, Berbakti dan Menyambung Silaturrahim,
Adab Anak, 1875)
Abdur Rahman, Jamal. (2005). Islamic Parenting. Solo:
Aqwam.
Almaududy, Mhd Rois. (2018). Dari Rasulullah Untuk
Pendidik: Meneladani Pendidikan ala Rasulullah demi Melahirkan Generasi Terbaik.
Solo: Tinta Medina.
Beni, Saebani Ahmad dan Hamid Abdul. (2010). Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka.
Depag RI. (2009). Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung:
Sygma Exagrafika.
Muslich, Masnur. (2011). Pendidikan
Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Putra, Haidar. (2016). Pemberdayaan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Medan: Kencana.
Sit,
Masganti dan Raisah Armayanti. (2019). Modul Panduan Orang Tua: Model
Parenting Islami Pada Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Medan: Perdana
Publishing.
Solihin, Muchtar dan Anwar, Rosyid. (2006). Akhlak Tasawuf. Bandung: Nuansa
Cendekia.
Sutarjo, J.R. Adisusilo. (2013). Pembelajaran Nilai Karakter Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi
Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yusuf, Muri. (1982). Pengantar Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar