Rabu, 23 Februari 2022

Cara Mengajarkan Akhlak Kepada Anak Menurut Al-Qur'an

 






Anak adalah pribadi yang unik, tentu berbeda karakter antara anak yang satu dengan lainnya. Seiring dengan keunikan pada setiap anak, orangtua diharapkan dapat mengajarkan dan menanamkan akhlak yang baik didalam diri anak sejak anak masih usia dini. Karena, pada usia dini akhlak anak akan lebih mudah untuk dibentuk dan dapat melekat dalam diri anak sampai anak dewasa.

Akhlak adalah daya atau kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan (Anwar, 2015:155).

Terdapat beberapa karakteristik akhlak. Karakteristik akhlak dapat dilihat  dalam berbagai dimensi dan hubungan. Di antaranya adalah akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia, dan akhlak kepada lingkungan. Akhlak kepada Allah dapat diwujudkan dalam beribadah kepada Allah seperti shalat, berdzikir dan berdoa. Akhlak kepada rasul ialah melaksanakan segala sunnahnya. Akhlak kepada manusia dapat diwujudkan pada diri sendiri seperti sabar, syukur dan tawadhu’. Akhlak kepada ibu bapak dapat diwujudkan dengan berbuat baik kepadanya. Akhlak kepada terhadap keluarga keluarga yaitu mengembangkan kasih sayang diantara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk hubungan. Akhlak kepada lingkungan hidup yaitu menjaga kelestarian alam dan lingkungan.

Sejak  manusia dilahirkan, ia telah dibekali oleh Allah kemampuan mengenal baik dan buruk. Allah Swt telah mengilhamkan kemampuan tersebut kepada manusia. sebagai dinyatakanNya dalam Q.S. asy-Syam: 91 ayat 7-8 sebagai berikut:

 وَ نَفْسٍ وَّ مَا سَوّٰىهَاﭪ)۷ ( فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوٰىهَاﭪ)۸(

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Depag RI, 2009:595)

Dalam surat asy-Syam ayat 7-8 sebagaimana yang dikutip oleh Masganti menjelaskan bahwa setiap diri diberi oleh Allah, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang akan membawa celaka supaya jangan ditempuh dan bersamaan dengan itu diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan bahagia dunia dan akhirat. Setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dana mana yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya (Masganti, 2019:84).

Kata akhlak tentu tidak terlepas dari kata moral dan etika. Moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berfikir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia etika diartikan sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989: 237).

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa moral adalah suatu ajaran kebiasaan yang melekat didalam diri individu berdasarkan adat istiadat atau kesepakatan yang dibuat oleh suatu masyarakat yang dapat diterima secara umum. Dimana masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik-buruknya suatu perbuatan tersebut.

Sejalan dengan itu, Al-Qur’an telah memberikan gambaran yang jelas mengenai pendidikan akhlak pada anak-anak (Zamroni, 2017:250). Menurut Amin Zamroji, terdapat 3 (tiga) karakteristik akhlak, diantaranya:

1.      Akhlak kepada Allah

Sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Luqman (31`) ayat 13 yang berbunyi:

وَ اِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِه وَ هُوَ یَعِظُه یٰبُنَیَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِﳳ-اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِیْم

 “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Depag RI, 2009:412)

Ayat tersebut menyatakan bagaimana seharusnya para orang tua mendidik anaknya untuk mengesakan penciptanya dan memegang prinsip tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya. Anak-anak hendaklah diajarkan untuk mengerjakan shalat. Sehingga terbentuk manusia yang senantiasa kontak dengan penciptanya. Kemudian, anak-anak hendaklah diajarkan untuk mengerjakan shalat. Sehingga terbentuk manusia yang senantiasa kontak dengan penciptanya. (Shihab, 2000:127)

2.      Akhlak kepada Orang Tua

Allah memerintahkan kepada umatnya untuk senantiasa bersikap baik kepada kedua orangtua. Hal ini sesuai firman Allah dalam QS. Luqman (31) ayat 14 :

وَوَصَّیْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَیْه-حَمَلَتْهُ اُمُّه وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّ فِصٰلُه فِیْ عَامَیْنِ اَنِ اشْكُرْ لِیْ وَ لِوَالِدَیْك-اِلَیَّ الْمَصِیْرُ

 

“dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Depag RI, 2009: 412)

Islam mendidik anak-anak untuk selalu berbuat baik terhadap orang tua sebagai rasa terima kasih atas perhatian, kasih sayang dan semua yang telah mereka lakukan untuk anak-anaknya. Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada kedua orang tuanya, gurunya serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Hendaklah menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua daripadanya, agar senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau dihadapan mereka. (al-Ghazali, 2016:197)

3.      Akhlak kepada Orang Lain

Dalam akhlak kepada orang lain, terdapat dalam firman Allah dalam surah Luqman (31) ayat 18 yang berbunyi:

وَ لَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَ لَا تَمْشِ فِی الْاَرْضِ مَرَحًا-اِنَّ اللّٰهَ لَا یُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Depag RI, 2009:412)

Ayat tersebut mengisyaratkan agar berbuat baik dan sopan santun dengan sesama manusia, yaitu dilarang untuk memalingkan mukanya yang didorong oleh penghinaan dan kesombongan. Kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Anak-anak haruslah dididik untuk tidak bersikap acuh terhadap sesama, sombong atas mereka dan berjalan dimuka bumi ini dengan congkak. Karena perilaku-perilaku tersebut tidak disenangi oleh Allah dan dibenci manusia. (Shihab, 2018:139)

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa cara mengajarkan akhlak kepada anak tidak cukup hanya dengan suruhan ataupun perintah saja. Anak cenderung meniru orang dewasa baik guru maupun orang tua dan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, sebaiknya perbuatan-perbuatan yang baik yang bisa ditiru oleh sang anak perlu diberikan salah satunya dengan cara anak berada di lingkungan yang positif. Agar sang anak mampu mengikuti perbuatan-perbuatan positif seperti yang ada di lingkungan tempat anak tinggal.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam. (1976). Ihya’Ulumiddin Terj. Prof. Tk. H. Ismail Yakub MA-SH., Jakarta: CV. Faizan.

Anwar, Husnel. (2015). Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi (Al-Islam).

Depag RI. (2009). Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Sygma Exagrafika.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Sit, Masganti dan Raisah Armayanti. (2019). Modul Panduan Orang Tua: Model Parenting Islami Pada Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Medan: Perdana Publishing.


Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Al-Qur'an dan Hadits

 Pendidikan Akhlak Anak usia dini sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga khususnya orangtua karena melalui orangtualah anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama. Begitu pentingnya peran orangtua dalam memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Berdasarkan Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003)

Sebagaimana Firman Allah Swt dalam  Surah Al-Isra’ (17) ayat 24 yang berbunyi :

وَ اخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَ قُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّیٰنِیْ صَغِیْرًا

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Depag RI, 2009:284)

Didalam Al-Qur’an juga banyak mengisahkan tentang pendidikan dan akhlak anak kepada orangtua melalui kisah para Nabi. Adapun terdapat dalam Firman Allah Surah Asy-Syu’ara’ (26) ayat 18 yang berbunyi:

قَالَ اَلَمْ نُرَبِّكَ فِیْنَا وَلِیْدًا وَّ لَبِثْتَ فِیْنَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِیْنَ

“Fir'aun menjawab: "Bukankah Kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) Kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama Kami beberapa tahun dari umurmu. (Depag RI, 2009:367)

Selain kisah Raja Fir’aun dan Nabi Musa juga kisah lainnya ialah melalui kisah Nabi Adam a.s. yang terdapat dalam Firman Allah Swt dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 31 yang  berbunyi :

وَ عَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰىٕكَةِ-فَقَالَ اَنبِـُٔوْنِیْ بِاَسْمَآءِ هٰۤؤُلَآءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِیْنَ

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (Depag RI, 2009:6)

Selanjutnya, terdapat Kisah Nabi Daud a.s. didalam Surah An-Naml (27) ayat 16 yang berbunyi:

وَوَرِثَ سُلَيْمٰنُ دَاودَ وَقَالَ يٰاَيُّهَا النَّاسُ عُلِّمْنَا مَنْطِقَ الطَّيْرِ وَاُوْتِيْنَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْفَضْلُ الْمُبِيْنُ

“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu kurnia yang nyata". (Depag RI, 2009:378)

Kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. dikisahkan didalam Al-Qur’an terdapat dalam Al-Qur’an Surah Ash-Shaaffaat (37) ayat 102 yang berbunyi:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْیَ قَالَ یٰبُنَیَّ اِنِّیْۤ اَرٰى فِی الْمَنَامِ اَنِّیْۤ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَا ذَا تَرٰى-قَالَ یٰۤاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ-سَتَجِدُنِیْۤ اِنْ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِیْنَ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". (Depag RI, 2009:449)

Dari kisah diatas diketahui bahwa peran pendidikan orangtua kepada anak bukan hanya dilakukan sejak sekarang melainkan sudah ada sejak zaman Nabi, yaitu telah adanya proses pendidikan dan pola asuh orangtua kepada anak. Dari kisah Nabi Musa dengan Fir’aun mengajarkan kita bahwa walaupun Fir’aun tidak menyukai dan menginginkan kehadiran Nabi Musa a.s atas izin Allah Nabi Musa a.s Allah selamatkan dari pembunuhan anak laki-laki sewaktu ia kecil. Bukan hanya itu, ia juga diasuh dengan istri Fir’aun dan besar dalam keluarganya padahal Fir’aun hendak membunuhnya.

Melalui kisah Nabi Adam diatas dapat diambil pelajaran bahwa sesungguhnya Allah yang mengajarkan Nabi Adam segala yang tidak diketahuinya. Allah hendak menunjukkan kepada para malaikat dan ciptaannya bahwa Dia hendak menciptakan seorang khalifah di muka bumi yang mengetahui tentang nama-nama (benda) yang tidak diketahui oleh malaikat dan makhluk ciptaannya yang lain.

Dari Kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman a.s. dapat diambil pembelajaran bahwasanya Allah telah memberikan mukjizat dan pemahaman a.s. tentang suara hewan sehingga dapat mengerti bahasa hewan. Dan mukjizat tersebut Allah pilihkan kepada orang-orang istimewa dalam setiap kaumnya.

Selanjutnya, terdapat Kisah Nabi Ibrahim a.s. yang telah mendambakan seorang anak dalam hidupnya sampai ia berusia lanjut usia. Ketika ia telah berusia lanjut, maka Allah memerintahkan kepadanya agar menyembelih sang anak. Nabi Ibrahim a.s. meminta izin kepada anaknya Ismail a.s. untuk melaksanakan seruan Allah menyembelih anaknya. Kisah tersebut hingga saat ini menjadi hari besar dan sekligus perintah umat Islam untuk menyembelih hewan kurban bagi yang mampu menjalankannya.

Di dalam ayat-ayat Al-Qur’an sangat banyak ditemukan ajaran-ajaran tentang akhlak karimah yang harus dijadikan manusia sebagai pelaku internal dan eksternal dalam kehidupannya. Demikian juga sebaliknya, banyak ditemukan larangan Al-Qur’an terhadap perilaku tercela yang harus dihindari oleh manusia. Hal ini akan diulas pada pembahsan-pembahasan berikutnya. Pada intinya konsepsi akhlak di dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah segala perilaku yang baik yang diabsahkan oleh syara’. Oleh sebab itu, baik dan buruk dalam Islam haruslah berdasarkan petunjuk sumber ajaran Islam tersebut.

Konsep akhlaq al-karimah merupakan konsep hidup yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan alam sekitarnya dan manusia dengan manusia itu sendiri. Keseluruhan konsep-konsep akhlak tersebut diatur dalam sebuah ruang lingkup akhlak. (Syafri, 2002:79)

Sejalan dengan itu, Abidin Rusn mengatakan bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat menuju pendekatan diri menjadi manusia sempurna. (Al-Ghazali, 1998:56) Sementara itu, pendidikan yang bertahap dan berkelanjutan telah kita saksikan dalam sejarah umat Islam. Allah Swt tidak menurunkan Al-Qur’an secara utuh. Tidak. Akan tetapi, diturunkan secara berangsur-angsur. Dengan demikian, Al-Qur’an tidak hanya sebatas hafalan saja, tetapi benar-benar menjadi panduan hidup yang melekat dalam benak para sahabat beliau. (Almaududy, 2018: 35)

            Suatu proses berupa pemindahan maupun penyempurnaan dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan dengan melibatkan dan mengikut sertakan bermacam komponen adalah pengertian dari pendidikan. Pendidikan juga dipahami bahwa sejak manusia itu ada, sebenarnya sudah ada pendidikan, tetapi dalam perwujudan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu, selanjutnya dengan terjadinya perkembangan ilmu dan teknologi, akan timbul pulalah bermacam-macam pandangan tentang pengertian pendidikan itu sendiri. (Yusuf, 1982:21-22)

             Idealnya, pendidikan dilaksanakan oleh tiga komponen secara simultan: rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga komponen inilah yang disebut oleh Ki Hajar Dewantara dengan Tri Pusat pendidikan. Pendidikan yang dilaksanakan disekolah tidak emmiliki arti yang banyak bila tidak dikontrol dan dikendalikan oleh orangtua. Orangtualah yang mengontrol anak. Apa yang dilakukan untuk ini, harus dibangun komunikasi antara sekolah dan orangtua peserta didik, lewat pertemuan formal, lewat buku penghubung, lewat komunikasi tertulis yang dibuat oleh sekolah ditujukan kepada orangtua murid. (Haidar, 2016:102)

            Dari beberapa pengertian diatas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses usaha sadar dan terencana dimana orangtua mempunya peran utama dalam menumbuhkan perkembangan sang anak dimana melalui prosdes pendidikan tersebut akan lahir dalam diri anak sesuatu dari yang tidak tahu menjadi tahu, dilakukan secara bertahap melalui ilmu pengetahuan yang didapat dari lingkungan tempat anak tinggal.

            Akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kebanyakan kata akhlak dijumpai dalam hadist. Sementara itu, satu-satunya kata yang ditemukan semakna akhlak dalam al-Qur’an adalah bentuk tunggal, yaitu Khuluqun. Seperti yang tercantum dalam surat al-Qolam (68) ayat 4 yaitu:

وَ اِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِیْمٍ

Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”  (Depag RI, 2009:564)

            Selanjutnya, ayat tersebut juga didukung oleh hadist Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari :

حَدَّثَنَا يَحْيَى حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ { خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ } قَالَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا فِي أَخْلَاقِ النَّاسِ وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بَرَّادٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ أَمَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْخُذَ الْعَفْوَ مِنْ أَخْلَاقِ النَّاسِ أَوْ كَمَا قَالَ

Telah menceritakan kepada kami Yahya Telah menceritakan kepada kami Waki' dari Hisyam dari Bapaknya dari 'Abdullah bin Az Zubair mengenai firman Allah; Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf (Al A'raf: 199). Dia berkata; Tidaklah Allah menurunkannya kecuali mengenai akhlak manusia. 'Abdullah bin Barrad berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah Telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Bapaknya dari 'Abdullah bin Az Zubair dia berkata; 'Allah menyuruh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam agar memaafkan kesalahan manusia kepada beliau.' -atau kurang lebih demikianlah apa yang ia katakan. (HR. Bukhari, Tafsir Al-Qur’an, Bab Surah A-A’raf ayat 199: 4277)

            Dari ayat dan hadist diatas menegaskan bahwa Rasulullah Saw sebagai suri teeladan kita sebagai umat Islam memiliki budi pekerti (akhlak) yang agung dan kita diperintahkan sebagai umatnya untuk meniru akhlak beliau, mengerjakan yang ma’ruf dan memaafkan kesalahan sesama manusia lainnya.

            Sementara itu, definisi akhlak menurut terminologis adalah pranata perilaku manusia dalam aspek kehidupan. Secara umum, akhlak dapat dipadankan dengan moral atau etika (Saebani, 2010:14). Sedangkan pada dasarnya akhlak mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan Tuhan, Allah Penciptanya, sekaligus bagaimana seharusnya hubungan seseorang dengan sesama manusia. Niat kuat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sesuai ridha Allah merupakan inti ajaran akhlak. (Sutarjo, 2013:55)

Sejalan dengan pendapat diatas, akhlak pada dasarnya mengajarkan bagaimana seseorang berhubungan dengan Sang Pencipta yaitu Allah SWT., dan bagaimana seseorang berhubungan dengan sesama manusia (Herawati, 2017). Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa seorang anak yang mendapatkan pendidikan akhlak yang baik mampu menghadapi dan menghindari pengaruh buruk dari lingkungan sekitarnya (Muslich, 2011).

Dari beberapa pendapat diatas menegaskan bahwasanya pada dasarnya melalui pendidikan akhlak mengajarkan bagaimana seseorang untuk berakhlak kepada Allah (Hablumminallaah) dan juga kepada sesama manusia (Hablumminannaas).

            Ibnul Qayyim berkata, “Di antara aspek yang sangat perlu diperhatikan dalam pendidikan anak ialah persoalan akhlak. Sebab anak akan tumbuh sesuai dengan kebiasaan yang ditanamkan oleh pendidik dimasa kecilnya, misalnya galak, suka marah, keras kepala, terburu-buru, cepat tergoda oleh hawa nafsu, ceroboh, dan cepat naik darah. Bila sudah demikian, orangtua akan sulit menghilangkannya ketika anak telah dewasa. Semua akhlak buruik itu akan berubah menjadi sifat dan karakter yang tertanam dalam dirinya. Meskipun anak telah berusaha keras untuk menjauhinya, sifat ini suatu saat akan muncul lagi. Oleh karena itu, Anda dapat menemukan banyak orang yang akhlaknya menyimpang disebabkan oleh pendidikan waktu kecil yang salah. (Abdurrahman, 2010:117)

Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu “akhlaq”, kata tersebut adalah jama’ dari kata “khuluqun” yang secara linguistik diartikan dengan budi pekerti. perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata “akhlaq” juga berasal dari kata “khalaqa” atau “khalqun” artinya kejadian, serta erat hubungannya dengan “khaliq”, artinya menciptakan tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata “al-khaliq”, artinya pencipta dan “makhluq” artinya yang diciptakan (Ya’qub, 1996:11).

Sejalan dengan pendapat Ya’qub, Husnel juga mengungkapkan kata akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu Akhlaq. Bentuk jamaknya adalah khuluq, artinya tingkah laku, perangai, dan tabiat. Sedang menurut istilah, akhlak adalah daya dan kekuatan jiwa yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnungkan lagi. Dengan demikian akhlak pada dasarnya adalah sikap yang melekat pada diri seseorang secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku atau perbuatan. Apabila perbuatan spontan itu baik menurut akal dan agama, maka tindakan itu disebut akhlak karimah (mahmudah). Sebaliknya, apabila buruk maka disebut akhlak yang buruk atau akhlak mazmumah. Baik dan buruk pada akhlak didasarkan kepada sumber nilai yang ada di dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadist (Sunnah Rasul) (Husnel, 2015:134). Dengan memiliki generasi yang berakhlak mulia kehidupan akan selamat dunia dan akhirat. (Herawati, 2017)

Dalam mendefinisikan kata “akhlaq” terdapat dua pendekatan, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan) dan pendekatan terminologik (peristilahan). Secara bahasa kata “akhlaq” berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitif) dari kata akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, yaitu sesuai dengan timbangan (wajan) tsulasi majid ‘af’ala, yuf’ilu, if’alan yang berarti as-sajiyah (perangai), ath-thabiah (karakter, tabiat, watak), al-adat (kebiasaan), al-muru’ah (kehormatan), dan ad-din (agama). Namun, akar kata akhlak dari kata “akhlaqa” sebagaimana tersebut tampaknya kurang tepat, isim mashdar dari akhlaqa adalah ikhlaq bukan akhlaq. Berkenaan dengan hal itu, timbul pendapat yang mengatakan bahwa kata akhlaq merupakan isim jamid atau isim ghair munsharif, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata. Tetapi kata tersebut memang sudah terbentuk demikian adanya. (Solihin, 2006:17-18)

Dari beberapa pendapat diatas dapat dipahami bahwa akhlak dapat disamakan dengan budi pekerti, perangai atau kepribadian. Akhlak dapat mencerminkan kepribadian sekaligus dapat menggambarkan karakter yang apabila mengandung kebaikan disebut akhlak baik atau akhlak mulia, dan yang mengandung keburukan maka disebut sebagai akhlak buruk atau akhlak tercela.

Akhlak sesungguhnya merupakan perpaduan antara lahir dan batin. Seseorang dikatakan berakhlak apabila seirama antara perilaku lahir dan batinnya. Karena akhlak itu juga terkait dengan hati, maka pensucian hati adalah salah satu jalan untuk mencapai akhlak mulia. Dalam pandangan Islam hati yang kotor akan menghalangi seseorang mencapai akhlak mulia. Boleh jadi dia melakukan kebajikan tetapi kebajikan yang dia lakukan itu bukanlah tergolong akhlak mulia, karena tidak dilandasi oleh hati yang mulia pula. Disinilah letak akhlak dengan etika atau moral. Pada tataran akhlak berperan ganda lahir dan batin, sedangkan etika atau moral berada pada tataran lahiriah saja. Seseorang telah dikatakan beretika atau bermoral ketika dia telah menunjukkan sikap sopan dan terpuji. Tetapi bagi akhlak belum cukup yang demikian, mestilah dibarengi dengan sikap hati. (Haidar, 2014:133-134) Oleh sebab itu, orangtua harus memperhatikan akhlak anak-anaknya. Jangan karena menganggap anaknya masih kecil lalu semuanya serba boleh dan memandang sebagai hal kecil pula. (Masganti, 2019:84)

Mengingat begitu tinggi kedudukan Allah, maka Rasulullah bersabda Islam pemberian terbaik dari orangtua kepada anak adalah akhlak mulia. Sebagaimana Nabi Saw bersabda:

حدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا عَامِرُ بْنُ أَبِي عَامِرٍ الْخَزَّازُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ مُوسَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدًا مِنْ نَحْلٍ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَامِرِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ الْخَزَّازِ وَهُوَ عَامِرُ بْنُ صَالِحِ بْنِ رُسْتُمَ الْخَزَّازُ وَأَيُّوبُ بْنُ مُوسَى هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ سَعِيدِ بْنِ الْعَاصِي وَهَذَا عِنْدِي حَدِيثٌ مُرْسَلٌ

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami, telah menceritakan kepada kami Amir bin Abu Amir Al Khazzar, telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Musa dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada suatu pemberian seorang ayah kepada anaknya yang lebih utama daripada adab (akhlak) yang baik." Abu Isa berkata; Ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari haditsnya Amir bin Abu Amir Al Khazzar, ia adalah Amir bin Shalih bin Rustum Al Khazzar. Sedangkan Ayyub bin Musa adalah Ibnu Amr bin Sa'id bin Al Ash. Dan menurutku, ini adalah hadits Mursal. (HR. Tirmidzi, Berbakti dan Menyambung Silaturrahim, Adab Anak, 1875)

Sehingga, dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak merupakan suatu bentuk kepribadian, watak, maupun budi pekerti yang melekat pada diri seseorang sehingga menumbuhkan nilai moral ataupun etika kepada manusia yang akan mempengaruhi tingkah laku manusia tersebut. Pendidikan Akhlak Anak sangatlah penting diberikan oleh orangtua kepada sang anak yang dimulai dari masa anak usia dini karena disitulah anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, berkepribadian yang unik, aktif serta energik.



DAFTAR PUSTAKA

Abdur Rahman, Jamal. (2005). Islamic Parenting. Solo: Aqwam.

Almaududy, Mhd Rois. (2018). Dari Rasulullah Untuk Pendidik: Meneladani Pendidikan ala Rasulullah demi Melahirkan Generasi Terbaik. Solo: Tinta Medina.

Beni, Saebani Ahmad dan Hamid Abdul. (2010). Ilmu Akhlak. Bandung: Pustaka.

Depag RI. (2009). Al-Qur’an dan Terjemah. Bandung: Sygma Exagrafika.

Muslich, Masnur. (2011). Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Putra, Haidar. (2016). Pemberdayaan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Medan: Kencana.

Sit, Masganti dan Raisah Armayanti. (2019). Modul Panduan Orang Tua: Model Parenting Islami Pada Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Medan: Perdana Publishing.

Solihin, Muchtar dan Anwar, Rosyid. (2006). Akhlak Tasawuf. Bandung: Nuansa Cendekia.

Sutarjo, J.R. Adisusilo. (2013). Pembelajaran Nilai Karakter Konstruktivisme dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yusuf, Muri. (1982). Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia.